Minggu, 12 Desember 2010

Ilmu Hadist

بسم الله الرحمن الرحيم 
Definisi hadist menurut ulama muhadisin adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi baik dari perkataan, perbuatan, penetapan atau semacamnya. Hadist-hadist Nabi  umumnya di sampaikan seseorang  atau beberapa orang saja, itu pun tidak jarang  dikemukakan dengan maknanya, bukan dengan redaksi yang digunakan Nabi Saw. Hadist dijadikan sumber ketetapan hokum dalam agama islam selain Al-Qua’an, Ijma’ dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadist merupakan sumber hokum kedua setelah Al-Qur’an.
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
A.    . Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
  •  Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. 
  • Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak     mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
  •  Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.

B.     Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
a)      Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
  •   Perawinya terpercaya
  •      Kuat hafalan atau baik catatannya
  •       Bersambung sanadnya; dalam arti perawi itu pernah atau diduga pernah saling bertemu
  •     Tidak dapat kejanggalan dalam kandungan sanad atau transmisinya
  •     Tidak terdapat sedikitpun cacat dalam kandungan makna dan sanadnya

b)      Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang  disangka dusta dan tidak syadz. Hadits hasan sama dengan hadist shahih, kecuali bahwa perawinya memiliki sedikit kekurangan dalam ingatan atau catatan. Sedangkan hadist dha’if adalah yang tidak memenuhi walau satu di antara kelima syarat yang disebutkan di atas.
c)      Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Dalam hal ini, Analogi dan penggunaan nalar serta pemahaman jiwa ajaran Al-Qur’an dan Assunah, tentulah di dahulukan dari pada hadis yang dha’if . apalagi jika hadist dha’if tersebut tidak memiliki dukungan makna dari hadist-hadist yang kuat. Benar bahwa ada rumus yang menyatakan bahwa “Hadist-hadist dha’if dapat diamalkan dalam soal fadhilah/ keutamaan suatu amal.” Namun, itu baru dibenarkan jika memenuhi tiga syarat:
  1.   Hadist dha’if tersebut tidak terlalu lemah
  2.   Amalan yang ditunjuk oleh kandungannya merupakan suatu perincian dari hal yang di benarkan Al-Qur’an dan atau Assunah yang shahih. Misalnya, hadist menganjurkan membaca surah Al-Qur’an tertentu. Hadist itu, walaupun dha’if, dapat diamalkan karena pada perinsipnya terdapat anjuran dari Al-Qur’an dan Assunah untuk membaca ayat Qur’an, kapan dan yang mana pun.
  3.    Tidak terdapat suatu argumentasi lain yang lebih kuat dari hadist dha’if itu yang menolaknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please enter your comment if there is some mistake in posting..